Mengawal Pilkada Kota Ambon

Written By Ambononline.com on Sabtu, 09 April 2011 | 08.51



SABTU, 08 April 2011 | 1105 Hits

Pelaksananan Pemilihan Wali kota dan Wakil Wali kota Ambon secara langsung, sebagai ajang sirkulasi elite dalam konteks demokrasi lokal yang dianggap representatif dalam mekanisme demokrasi prosedural, kian dekat.

Ada beberapa tahapan yang telah dan akan dilakukan dalam proses pemilihan nanti. Pendaftaran pasangan calon, verifikasi berkas pasangan calon, penetapan dan pengumuman pasangan calon sudah dilakukan. Tinggal menyisahkan masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, hingga penetapan calon terpilih untuk kemudian diangkat dan dilantik. Berjalannya proses pilkada dengan baik, akan menjadi penentu daerah ini ikut memantapkan proses demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Sehingga merupakan kewajiban bersama untuk mengawal proses ini. Jika tidak, daerah ini akan ikut menambah daftar panjang pelaksanaan pilkada yang diwarnai dengan bentrok dan konflik. Dalam konteks tersebut, kalau dicermati, dengan melihat pada pelaksanaan pilkada di daearah lain, setidaknya ada tiga momentum krusial dalam pelaksanaan pilkada yang mesti diantisipasi. Pertama, usai pengumuman pasangan calon hasil verifikasi KPUD. Momentum ini seringkali membuka peluang terjadinya kisruh. Biasanya kisruh yang terjadi akibat pasangan kandidat yang telah diusung partai politik (parpol) atau gabungan parpol, ada yang dinyatakan KPUD tidak memenuhi persyaratan. Atau juga dikarenakan munculnya rekomendasi ganda partai politik yang berujung pada dipersoalkannya legitimasi kandidat, bahkan terancam didiskualifikasi, seperti yang belakangan terjadi dalam pilkada kota Ambon. Hal semacam ini yang kemudian dapat memicu kandidat dan pendukungnya melakukan protes. Protes dengan ujuk rasa yang dilakukan dengan tidak terkontrol seringkali berujung pada pengrusakan dan aksi anarkis lainnya. Kedua, saat masa kampanye calon kandidat kepala daerah dilakukan, terutama kampanye dengan pengerahan massa. Momentum inilah yang seringkali menyebabkan bentrok antar massa pendukung. Biasanya saling mengejek antar pendukung, beredarnya surat kaleng, kampanye hitam dan pengrusakan terhadap atribut kampanye kandidat menjadi pemicu terjadinya konflik. Belum lagi jika ada ketegangan antara sesama kandidat atau tim sukses yang juga ikut memicu ketegangan dan bentrok antar pendukung di basis massa. Ketiga, pada waktu penghitungan dan pengumuman perolahan suara oleh KPUD. inilah momentum yang paling krusial. hasil perhitungan suara seringkali memunculkan ketidakpuasan pasangan yang tertingal dalam perolahan suara. Apalagi jika selisih suara kandidat pemenang dengan kontestan lainnya tidak terlampau berbeda, dipastikan protes oleh kelompok pendukung kandidat yang tertinggal perolehan suranya akan mengemuka, dan bisanya kecurangan saat pemilihan dan keberpihakan KPUD kepada salah satu pasangan kandidat, dituding sebagai penyebab kekalahan kandidat mereka. Aksi dari kelompok yang kalah juga seringkali dibalas oleh kelompok yang kandidat-nya unggul, guna mendukung penetapan hasil perolehan suara KPUD. Kondisi seperti inilah yang rawan terjadinya bentrok. Ketidakpuasan kandidat dan pendukung yang kalah dengan melakukan unjuk rasa juga seringkali berdampak pada lumpuhnya aktivitas masyarakat, pengrusakan fasilitas umum dan aset pemerintah seperti yang terjadi di Kota Tuban Jawa Timur, Kabupetan Maluku Tenggara Barat, dan Kabupaten Kaur. Serta yang terjadi di Kota Makassar dan Ternate beberapa waktu yang lalu. Itu sebabnya, ketiga momentum krusial diatas mesti menjadi priorias pengawalan. Juga kesadaran untuk menegakkan politik keadaban dan bukan semata mengejar kekuasaan serta menyelesaikan setiap persoalan atau sengketa yang terjadi pada mekanisme hukum merupakan langkah yang teramat penting bagi berjalannya proses demokrasi prosedural ini. Lantas, siapakah yang mestinya mengawal proses ini? Pertama, kandidat dan tim suksesnya. Konflik dalam pilkada seringkali dipicu oleh ketidakpuasan kandidat dalam menerima putusan terkait tahapan dalam pilkada. Kedewasaan politik dan tata krama berdemokrasi dari kandidat yang berkompetisi dalam pilkada sangat menentukan pilkada bisa berjalan dengan baik. Sebab, para calon atau kandidat kepala daerah itulah yang merangsang orang memilih mereka, maka para kandidat yang seharusnya memiliki tanggungjawab moril untuk memberikan penerangan dan pencerahan kepada para pendukung-nya. Selain itu, antara para kandidat dan elite politik sendiri perlu membangun kesepakatan atau konsensus. Proses politik demokrasi jelas memunculkan realitas yang paradoksal. Sehingga kematangan proses politik demokrasi membutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu kecenderungan konflik politik dan kebutuhan akan terbangunnya konsensus politik. Keseimbangan antara konflik dan konsensus ini merupakan faktor amat penting dalam sebuah pesta demokrasi. Dengan demikian diperlukan adanya ruang politik yang berfungsi bagi proses konsensus untuk mencairkan ketegangan. Para kandidat dan elite politik mesti memberikan ruang bagi terbangunya konsensus. Sikap yang terlampau kaku, merasa paling benar dan cenderung arogan hanya akan membuat situasi tak terkendali dan mudah untuk di provokasi. Kedua, adalah organisasi masyarakat sipil (civil society). Meliputi seluruh organisasi non pemerintah, seperti organisasi keagamaan, pemuda, mahasiswa, universitas, pers, peguyuban, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan juga tokoh masyarakat. Peran civil society diharapkan dapat ikut memberikan pemahaman dan pendidikan politik bagi masyarakat secara luas. Civil society juga dapat berperan dengan membetuk tim independen yang memantau berlangsungnya proses pilkada. Adanya pemantau independen dapat mengeleminir terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pilkada yang seringkali menjadi pemicu sengketa pilkada. Ketiga, massa pendukung kandidat calon kepala daerah. Kesadaran politik mereka dalam hal ini, diharapkan dapat menahan diri untuk tidak mudah terprovokasi dan menyerahkan proses sengketa pilkada pada ketentuan dan mekanisme yang berlaku, seperti dalam penyelesaian sengketa pilkada Kota Depok beberapa tahun yang lalu. Kesadaran politik dari massa pendukung juga menjadi penentu pilkada dapat berlangsung dengan aman. Dengan kedewasaan politik dari para kandidat, tata krama berdemokrasi dan terbangunya konsensus diantara elite politik atau kontestan pilkada, kemudian ditunjang oleh peran civil society dalam memberikan pemahaman dan pendidikan politik, serta adanya kesadaran massa pendukung kandidat untuk tidak mudah terprovokasi, dipastikan tahapan pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan baik. Yang tidak kalah pentingnya adalah kinerja dari penyelengara pilkada. Yakni, KPU Kota Ambon dan Panwas pilkada, kedua lembaga ini mesti dapat benar-benar bekerja secara profesional dan independen. Dengan begitu, keinginan untuk menghadirkan Pemilihan Wali kota dan Wakil Wali kota Ambon yang demokratis dapat terwujud. Semoga. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Lain